Selasa, 29 November 2016

1)Sebelum tanggal 23 Juni 1908
Perlawanan terhadap kebijakan belasting terjadi beberapa bulan setelah kebijakan itu resmi diumumkan. Sebenarnya ide tentang pelaksaan pajak langsung ini jauh sebelum tahun 1908 sudah ada, namun kebijakan itu masih banyak pertimbangan mengingat struktur masyarakat Minangkabau yang memakai sistem Matrilineal, masyarakatnya tidak memiliki harta pribadi. Satu-satunya kekayaan yang menjamin hidup mereka ialah harta pusaka. Tetapi pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan hal itu.
Akhirnya  tanggal 21 Februari 1908, dikeluarkanlah tiga Peraturan Pemerintah No. 93, 95 dan 96,  dimuat dalam Lembaran Negara lima hari kemudian. Dan harus mulai berlaku tanggal 1 maret 1908.  Beberapa bulan kebijakan itu dijalankan, terjadilah peristiwa berdarah di Sumatera Barat sebagai akibat penolakan masyarakat terhadap kebijakan belasting tersebut. Peristiwa ini dimuat dalam koran-koran Belanda pada masa itu seperti Java Bode dan Bataviaasch Nieuwsblad.
Pemungutan belasting di Lintau Buo sama dengan wilayah lain yang ada di Sumatera Barat. Setiap rumah dikenakan pajak penghasilan atau pajak mata pencaharian dan pajak-pajak lain yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Namun yang lebih memberatkan lagi, rakyat Lintau Buo juga harus membayar uang serayo.
Dengan dipungutnya uang serayo maka, secara tidak langsung masyarakat Lintau Buo memberi gaji untuk orang kampungnya sendiri yang mau bekerjasama dengan Belanda. Ini juga menjadikan rakyat semakin tidak tahan dengan perlakuan Belanda. Padahal dalam Plakat Panjang juga disebutkan bahwa bagian dari masyarakat yang mau bekerja dengan Belanda akan diberi upah atau gaji. Namun kenyataannya tidak, justru keadaan lebih di perparah lagi ketika Belanda sudah mengingkari janji-janjinya tersebut. Gaji yang dijanjikan itu malah dimintai dari masyarakat setempat.
Dalam pelaksanaannya ada masyarakat yang terlabat membayar belasting. Mereka yang tidak membayar belasting akan mendapat hukuman dari Belanda. Hukumannya yaitu dibawa ke lapangan di depan kantor controleur Belanda di Buo. Lapangan tersebut dikelilingi kandang harimau, ketika ada rakyat yang tidak membayar pajak maka harimau tersebut dilepaskan dan dibiarkan menggigit orang-orang yang mendapat hukuman dari Belanda.
Hal tersebut merupakan salah satu alasan masyarakat melakukan perlawanan. Dan penyebab yang lebih kuat yang mendorong masyarakat Lubuk Jantan melakukan aksi perlawanan ketika ditangkapnya suami  Siti Hadjir oleh Belanda. Ibrahim ditangkap karena diketahui belum membayar belasting yang telah ditetapkan oleh Belanda.
Sewaktu pulang berdagang dari arah Payakumbuh, Ibrahim dihadang oleh petugas Belanda guna memeriksa apakah beliau sudah membayar belasting atau belum. Ternyata suami Siti Hadjir ini belum membayar pajak yang telah diminta Belanda. Akhirnya ia ditahan dan dibawa ke Buo.
Tiga hari setelah suaminya ditahan Siti Hadjir mendapat laporan dari masyarakat bahwa Ibrahim tengah ditahan Belanda di Buo. Mengetahui hal tersebut Siti Hadjir  merasa khawatir akan nasib suaminya yang juga akan mengalami hukuman dari Belanda. Maka Siti Hadjir mengajak masyarakat untuk melawan Belanda karena sudah tidak tahan dengan perlakuan dari pemerintah Belanda.
Perlawanan masyarakat Lintau Buo ini juga tidak terlepas dari pengaruh perang di Kamang dan Batipuh. Perang Kamang merupakan salah satu perang yang terkenal dalam sejarah sebagai reaksi dari kebijakan belasting  yang ditetapkan Belanda. Ternyata dampak dari Perang Kamang ini juga membawa pengaruh bagi perlawanan masyarakat Lintau, sesuai dengan apa yang dikatakan Ken Young dalam disertasinya :
“No problems had arisen in the implementation of taxation before June. The local controleur, J. Bastian confident that local attitudes in the subdistric Lintau and Buo would not change in spite of the news from Kamang and Batipuh, and advised  his superiors that he nedded no special assistance. However on June 23 people from Nagari Lubuk Jantan, led by Angku Kali, came and masse to the main centre of Buo to demand their money back. Bastian had miscalculated and they kill him.”
(Tidak ada masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan perpajakan sebelum Juni. Kontrolir local, J. Bastian sudah yakin bahwa sikap lokal di Lintau dan Buo tidak akan berubah dalam berita dendam dari Kamang dan Batipuh, dan menyarankan atasan-atasannya bahwa dia tidak butuh bantuan yang istimewa. Bagaimanapun pada tanggal 23 Juni rakyat Lubuk Jantan dipimpin oleh Angku Kali, datang ke pusat utama Buo bersama massa untuk meminta uang mereka kembali. Bastiaan salah perhitungan dan  mereka membunuhnya.)
Dari kutipan diatas jelas diketahui bahwa Perang Kamang dan Batipuh membawa pengaruh terhadap perlawanan rakyat di Lintau Buo untuk menentang kebijakan belasting yang telah dijalankan sebelumnya. Disitu juga dijelaskan bahwa massa dari Lubuk Jantan dipimpin oleh Angku Kali  datang ke Buo  dan membunuh controleur tersebut. Terbunuhnya controleur J. Bastiaans membuat peralawanan semakin sengit ketika Belanda mendatangkan pasukan dari Batusangkar.
Dalam gerakan- gerakan tertentu, para partisipan secara sadar berjuang untuk menghidupkan kembali adat tradisional atau kepercayaan mereka dan membersihkannya dari elemen-elemen asing. Persaan tertekan secara relative juga berakar pada perbedaan yang amat jauh, yang mereka percaya, antara masyarakat berstatus rendah dengan  masyarakat yang mempunyai standar hidup tinggi, kekuasaan dan kesejahteraan yang dinikmati oleh para kolonialis yang dominan, baik orang Eropa, sekutu-sekutu pribumi mereka dan imigran .
Perlawanan masyarakat Lintau Buo ingin menghidupkan kembali adat tradisional mereka dengan cara menghilangkan pengaruh Belanda dalam tatanan kehidupan masyarakat Lintau Buo. Dengan melihat kejayaan masa lampau tentang radikalisme Padri dibawah pimpinan Tuanku Lintau, masyarakat Lintau Buo memiliki keberanian menentang segala kebijakan Belanda yang bertentangan dengan adat dan agama mereka. Selain itu kondisi alam Lintau Buo yang dikelilingi oleh bukit-bukit, memungkinkan mereka untuk melakukan aksi perlawanan dan menjadikan kondisi alam mereka sebagai pusat pertahan.
Sebelum datang ke Buo, Siti Hadjir mengajak masyarakat Lubuk Jantan untuk  berunding bersama dengan Tuanku Amir bahwa dengan tekad bulat mereka menolak membayar pajak yang ditetapkan Belanda. Selain membayar pajak, rakyat dipaksa membuat jalan dengan target yang ditetapkan, biasanya target ini melampaui daya tahan seseorang. Disamping membayar pajak dan kerja paksa, rakyat Lintau Buo diperintah pula untuk menjaga Controleur dan Asistennya serta menjaga segala yang menyangkut dengan kepentingannya seperti rumah dan kantor. Penjaga ini memiliki kerja rutin lain seperti memotong rumput untuk makan kuda, menimba air, mengolah kebun ataupun membersihkan rumah-rumah dan kantor Belanda.
Dalam perundingan tersebut Siti hadjir bersama Tuanku Amir mengajak rakyat untuk menghadang controleur di Buo dan meminta uang mereka dikembalikan. Ternyata rencana masyarakat Lubuk Jantan ini diketahui oleh Belanda. Sehingga Belanda mengancam akan menangkap penduduk laki-laki Lintau Buo. Controleur mengancam jika rakyat tidak mau membayar pajak, maka penduduk laki-laki akan dikirim ke Sawahlunto untuk jadi pekerja paksa membuat jalan.  Ancaman tersebut menjadi renungan sementara bagi masyarakat Lintau Buo, apalagi Siti Hadjir yang ketika itu suaminya tengah ditahan Belanda di Buo.
Akhirnya ancaman itu tidak dihiraukan oleh masyarakat setempat karena bagi mereka semakin takut terhadap ancaman Belanda, semakin tertekan hidup mereka. Untuk itu mereka tetap ingin menghadang controleur ke Buo. Kemudian controleur J. Baastiaans menyikapi hal tersebut dengan cara lunak, controleur yang bertugas di Lubuk Jantan tersebut datang menemui Kepala Nagari Lubuk Jantan di kantornya yang bertempat di balai Salasa untuk berunding guna melunakkan hati rakyat. Perundingan ini dihadiri oleh pemimpin rakyat Tuanku Amir dan Siti Hajir. Hal ini tetap saja tidak menghasilkan kata sepakat karena rakyat Lintau Buo tetap tidak mau membayar belasting yang diinginkan Belanda. Hal tersebut membuat controleur marah dan mengancam pimpinan rakyat. Kemarahan controleur membuat masyarakat semakin bertambah benci.
Dari kejadian tersebut Siti Hadjir makin bersemangat untuk mengajak masyarkat Lubuk Jantan menghadang Belanda ke Buo. Sewaktu menghadang Belanda ke Buo ia dibantu oleh Tuanku Amir dan Pandeka Jamil. Siti Hadjir menggunakan pakaian laki-laki dan menutupi rambutnya yang panjang dengan memakai tutup kepala seperti laki-laki .
2)Tanggal 23 Juni 1908
Pada tanggal 23 Juni 1908 masyarakat Lubuk Jantan yang dipimpin oleh Siti Hadjir , Tuanku Amir dan  Pandeka Jamil datang menemui controleur di kantornya yang bertempat di Buo. Pada hari itu mereka menyatakan bahwa mereka tetap menolak untuk membayar pajak kepada Belanda dan menginginkan uang mereka yang telah diambil Belanda dikembalikan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Ken Young dalam penelitiannya :
However on June 23 people from Nagari Lubuk Jantan, led by Angku Kali, came and masse to the main centre of Buo to demand their money back. Bastian had miscalculated and they kill him and took the money six thousand guilders.
(Bagaimanapun pada tanggal 23 Juni rakyat Lubuk Jantan dipimpin oleh Angku Kali, datang ke pusat utama Buo bersama massa untuk meminta uang mereka kembali. Bastian salah perhitungan, mereka membunuhnya dan mengambil uang tiga ribu gulden.)
Dari kutipan diatas jelas disebutkan bahwa masyarakat Lubuk Jantan bersama pemimpinnya tetap melakukan perlawanan ke kantor controleur di Buo. J. Bastiaans salah perhitungan, ia menganggap bahwa masyarakat Lintau Buo tidak akan melakukan perlawanan seperti masyarakat Kamng ataupun wilayah lainnya yang lebih dulu melakukan aksi perlwanan.
Rombongan masyarakat Lubuk Jantan mengejar controleur dengan menggunakankan parang, pisau, tobak dan kayu-kayu, kemudian meraka memasuki kantor controleur dan J. Baastiaans berhasil dibunuh oleh Siti Hadjir  sampai wajahnya sulit dikenal.  Terbunuhnya controleur tersebut juga diberitakan dalam Koran Belanda Bataviaasch Nieuwsblad pada tanggal 25 Juni 1908 :
De controleur van de onderafdeling Lintau en Boea, J. Bantiaans, is gisteren vermoord door Heden die han betaalde belasting penningen terugeischten. Zijn gezin is in veiligheid.
(Maksudnya : kontrolir di subdistric Lintau dan Buo, J. Bastiaans  kemarin tewas, tapi keluarganya selamat)
Kemarahan rakyat tidak sampai disitu, segala yang berkepentingan dengan Belanda dirusak. Rumah-rumah Belanda diobrak-abrik. Mendapat laporan terjadinya penyerangan terhadap Belanda di Lintau Buo serta dibunuhnya controleur Johannes de Bastiaans. Asisten Residen Tanah Datar A. Raed Van Olderbarneveld segera mengambil kebijaksanaan dengan mengirimkan pasukan berkuda untuk mengamankan Lintau Buo.  Bantuan dari Batusangkar sampai malam harinya di Tapi Selo mereka menginap di Tampo dan pada esok paginya melanjutkan perjalanan ke Buo. Sasaran pertama mereka adalah mengadakan penggeledahan disekitar Buo dan mengatur strategi penyerangan.
Mengetahui datangnya bantuan dari Belanda ini maka Siti Hadjir, Tuanku Amir dan Pandeka Jamil mengatur pula strategi untuk menyiasati penyerangan. Dengan menghubungi masyarakat Batu Bulat dan Tanjung Bonai , pasukan Siti Hadjir kemudian mendekati pos pertahanan Belanda. Menyadari akan diserang tentara Belanda melepaskan tembakan peringatan. Tetapi tembakan ini dianggap sebagai awal penyerangan oleh rakyat yang memang membenci Belanda. Akibatnya perang terbuka tidak dapat dihindarkan. Pertempuran ini berlangsung sengit dalam jarak dekat yang mengakibatkan kedua belah pihak banyak menjadi korban. Hal tersebut juga diuatarakan Ken Young dalam penelitiannya:
The army arrived at Buo, and its soldiers to were attacked by Angku Kali and a force of about two hundred. The action was soon over, leaving seventeen dead.
(Tentara tiba di Buo dan serdadu ini juga diserang oleh pasukan angku kali dan sebuah tenaga dari kira-kira dua ratus. Tindakan diakhiri menyisakan tujuh belas orang meninggal)
Kutipan di atas menjelaskan  begitu kuatnya semangat patriotism masyarakat Lintau Buo dan pemimpin mereka dalam melawan Belanda. Dalam perlawanan tersebut menyisakan tujuh belas orang  masyarakat Lintau Buo meninggal. Dan situasi ini juga diberitakan dalam Koran Belanda Java Bode sebagai berikut :
Gisteren namiddag bivak Boea aangevallen plus minus 200 man, trots waarschuwing; vijand 17 dooden, buit 1 voorlaadgeweer, blanke wapens; wij geen verliezen.
(Maksudnya :  Kemarin sore  tiba di Buo lebih kurang 200 pria, peringatan kebanggaan, 17 musuh tewas,  1 menjarah untuk memuat senapan, senjata bermata, kita tidak kehilangan)
Melihat posisi yang kurang menguntungkan dan senjata yang tidak seimbang, pemimpin perjuangan rakyat Lintau Buo kemudian mengeluarkan komando untuk melakukan gerakan mundur. Sementara Belanda terus melakukan pengejaran terhadap masyarakat yang telah melakukan gerakan mundur. Disaat pengejaran ini, peluru tentara mengenai topi yang dipakai Siti Hadjir. Maka topi tersebut jatuh dan terurailah rambut Siti Hadjir yang panjang. Disitu juga Belanda mengetahui bahwa salah satu otak dari perlawanan ini adalah seorang perempuan .
Skala dan lamanya suatu gerakan sangat tergantung pada interaksi antara kemampuan para pemimpin pemberontak dengan mengorganisasikan dan mengarahkan pendukung mereka dengan keefektifan para kolonialis dalam menggunakan alat-alat penindasannya . Perlawanan rakyat Lintau Buo dapat dipatahkan oleh Belanda untuk sementara. Pemimpin perjuangan seperti Tuanku Amir dan Pandeka Jamil berhasil ditembak oleh Belanda . Terbunuhnya dua pemimpin perjuangan disebabkan karena perbedaan senjata yang jauh kurang memadai dibanding dengan Belanda. Berdasarkan argument di atas, lamanya suatu gerakan tergantung pada interaksi antara para pemimpin pemberontak dengan mengorganisasikan dan mengarahkan pendukung mereka. Meskipun demikian perjuangan rakyat Lintau Buo belum berakhir sampai disitu saja karena salah satu pemimpin perlawanan yaitu Siti Hadjir berhasil melarikan diri dan terus mengomandoi gerakan perlawanan masyarakat Lintau Buo. Perlawanan masih terus berlanjut dibawah pimpinan Siti Hadjir.
Dari situ terlihat meskipun telah banyak masyarakat Linatu Buo yang meninggal akibat perlawanan, namun mereka tetap memiliki semangat juang yang tinggi untuk melawan Belanda. Semangat juang mereka tidak terlepas dari pengaruh pemimpinnya yang masih mengomandoi perlawanan.
Menyadari pemimpin perjuangan rakyat Lintau belum dapat ditangkap, kemudian Belanda mengirim pasukan dalam jumlah besar . Kedatangan pasukan dalam jumlah besar memperlihatkan kuatnya perlawanan masyarakat setempat sehingga Belanda harus menambang jumlah anggota mereka untuk mengamankan perlawanan yang dilakukan masyarakat Lintau Buo . Kemudian Belanda melakukan penggeledahan di Lintau Buo yang akhirnya berhasil menanggap pemimpin utama perjuangan rakyat Lintau Buo yaitu Siti Hadjir. Kemudian ia dibawa ke benteng Fort Vander Capellen utntuk selanjutnya dibawa ke penjara Padang. Dengan demikian maka berakhirlah perjuangan masyarakat Lintau Buo . Dampak yang ditimbulkan dari perlawanan masyarakat Lintau adalah berubahnya status pemerintahan dan birokrasi Lintau dari sebelumnya bagian dari Onderafdelling Lintau dan Buo menjadi Onderafedelling Sijunjung pada 1913.  Implikasi dari perubahan  tersebut adalah berkurangnya kekuatan Lintau secara politis karena dulu Lintau dan Buo merupakan Onderafedlling atau Kecamatan sendiri namun setelah perlawanan dipatahkan maka Lintau dan Buo hanya menjadi bagian dari Onderafdelling atau Kecamatan Sijunjung. Sehingga memudahkan pemerintah Kolonial mengontrol wilayah dan masyarakat Lintau dan Buo.
C. Tokoh – Tokoh Perlawanan
1.Siti Hadjir
Siti Hadjir lahir di Talang, Lubuk Jantan Lintau pada tahun 1856. Ia merupakan seorang perempuan  pemberani dan memiliki kharisma yang tinggi di mata rakyat Lintau.  Pada saat terjadi perlawanan terhadap kebijakan belasting di Lintau Buo, beliau merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam perlawanan ini. Karena contoleur J. Baastians menemui ajalnya di tangan srikandi Lintau Buo ini.
Sewaktu mengomandoi gerakan mundur karena menyadari keterbatasan senjata. Penutup kepala Siti Hadjir tertembak oleh Belanda, sehingga terurai rambutnya yang panjang. Disitu Belanda mengetahui bahwa otak dari perlawanan masyarakat Lintau Buo ini adalah seorang perempuan. Ketika perlawanan berhasil dipatahkan oleh Belanda yaitu dengan menembak mati Tuanku Amir dan Pandeka Jamil, Siti Hadjir sebagai otak perlawanan berhasil melarikan diri dan terus mengomandoi rakyat untuk melawan Belanda.
Namun akhirnya Belanda melunakkan hati rakyat dengan mengajak Siti Hadjir untuk berunding  ke Padang. Mendengar hal tersebut Siti Hadjir pun mengikuti kemauan Belanda untuk berunding. Sesampai di Padang, ternyata ia bukan diajak berunding akan tetapi ditahan di penjara Padang. Ia dipenjara selama 8 tahun. Didalam penjara Siti Hadjir disiksa dengan berbagai cara. Namun hal itu tidak mempan bagi seorang Siti Hadjir.  Akhirnya Belanda memberi beliau makanan yang sudah diberi racun sebelumnya. Disinilah Siti Hadjir menemui ajalnya pada tahun 1916. Kemudian ia dimakamkan disekitar penjara, pada tahun 1955 dipindahkan ke Lintau. Sekarang makam dijadikan sebagai objek wisata sejarah oleh pemerintah Kabupaten Tanah Datar dan makam Siti Hadjir sudah direnovasi yang dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar serta kerabat dekat Siti Hadjir.
2.Tuanku Amir
Tuanku Amir merupakan sosok yang juga berpengaruh dalam perlawanan belasting di Lintau Buo ini. Beliau berasal dari daerah kecil dipedalaman nagari Lubuk Jantan yaitu Kenang. Pada saat perundingan di Balai salasa, beliau hadir sebagai pemimpin rakyat bersama Siti Hadjir. Dalam penelitian Ken Young nama beliau disebut sebagai Angku Kali.Tuanku Amir menemui ajalnya ketika ia berjuang dalam perlawanan di wilayah ini. Beliau ditembak mati ketika Belanda terus mengadakan penyerangan disaat rakyat Lintau Buo sudah melakukan gerakan mundur.
rsama pemimpin rakyat lainnya yang juga tertembak oleh Belanda. Kemudian makam ini dijadikan makam pahlawan Lubuk Jantan. Setelah kemerdekaan disana dimakamkan pula pejuang-pejuang Lintau Buo yang gugur pada saat Agresi Militer Belanda II.
Sampai saat sekarang masyarakat Lintau Buo dan masyarakat Lubuk Jantan khususnya masih mengenang jasa Tuanku Amir dengan menamai jorong tempat asal Tuanku Amir dengan nama Jorong Tuanku Amir.
3.Pandeka Jamil
Pandeka Jamil salah seorang tokoh yang ikut berjuang dalam perlawanan ini. Beliau adalah orang yang pandai bela diri di kampungnya. Bersama Tuanku Amir dan Siti Hadjir beliau maju melawan Belanda. Namun perjuangannya harus berakhir ketika ia ditembak mati oleh Belanda bersama dengan Tuanku Amir. Bersama Tuanku Amir, Pandeka Jamil dimakamkan di Lubuk Jantan. Yang sekarang ini makam ini dijadikan sebagai makam pahlawan masyarakat Lintau Buo.
Namun banyak masyarakat yang tidak terlalu mengenal sosok beliau karena yang lebih banyak diceritakan adalah sosok Siti Hadjir. Lagi pula beliau baru dikenal ketika perlawanan dimulai. Pada saat perundingan dengan controleur di balai Salasa Tuanku Amir dan Siti Hadjir yang menghadirinya. Jadi kebanyakan masyarkat Lintau Buo umumnya dan masyarakat Lubuk Jantan khususnya lebih banyak yang mengenal nama Siti Hadjir dan Tuanku Amir.